Sabtu, 01 Desember 2007
Penyakit Alzheimer
2002 digitized by USU digital library 1
PENYAKIT ALZHEIMER
Oleh Dr ISKANDAR JAPARDI
Fakultas Kedokteran
Bagian Bedah
Universitas Sumatera Utara
Red. Cegah sejak dini dengan minum VCO dan KEFIR
I. PENDAHULUAN
Penyakit alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh
seorang ahli Psikiatri dan neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia
mengobservasi seorang wanita berumur 51 tahun, yang mengalami gangguan
intelektual dan memori serta tidak mengetahui kembali ketempat tinggalnya,
sedangkan wanita itu tidak mengalami gangguan anggota gerak,koordinasi dan
reflek. Pada autopsi tampak bagian otak mengalami atropi yang difus dan
simetri, dan secara nikroskopik tampak bagian kortikal otak mengalami neuritis
plaque dan degenerasi neurofibrillary.
Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan
hidup pada berbagai populasi, maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin
meningkat. Dilain pihak akan menimbulkan masalah serius dalam bidang sosial
ekonomi dan kesehatan, sehingga aka semakin banyak yang berkonsultasi
dengan seorang neurolog karena orang tua tersebut yang tadinya sehat, akan
mulai kehilangan kemampuannya secara efektif sebagai pekerja atau sebagai
anggota keluarga. Hal ini menunjukkan munculnya penyakit degeneratif otak,
tumor, multiple stroke, subdural hematoma atau penyakit depresi, yang
merupakan penyebab utama demensia.
Istilah demensia digunakan untuk menggambarkan sindroma klinis
dengan gejala menurunnya daya ingat dan hilangnya fungsi intelek lainnya.
Defenisi demensia menurut Unit Neurobehavior pada Boston Veterans
Administration Medical Center (BVAMC) adalah kelainan fungsi intelek yang
didapat dan bersifat menetap, dengan adanya gangguan paling sedikit 3 dari 5
komponen fungsi luhur yaitu gangguan bahasa, memori, visuospasial, emosi dan
kognisi.
Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit alzheimer (50-
60%) dan kedua oleh cerebrovaskuler (20%). Diperkirakan penderita demensia
terutama penderita alzheimer pada abad terakhir ini semakin meningkat jumlah
kasusnya sehingga akan mungkin menjadi epidemi seperti di Amerika dengan
insidensi demensia 187 populasi /100.000/tahun dan penderita alzheimer
123/100.000/tahun serta penyebab kematian keempat atau kelima
II. INSIDENSI
Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara
epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia
kurang 58 tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok yang
menderita pada usia lebih dari 58 tahun disebut sebagai late onset. 2002 digitized by USU digital library 2
Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus
dijumpai setelah berusia 40 tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987)
melaporkan insidensi berdasarkan umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun,
95,8/100.000 pada usia > 80 tahun. Angka prevalensi penyakit ini per 100.000
populasi sekitar 300 pada kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia
70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80 tahun. Diperkirakan pada tahun 2000
terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit alzheimer. Sedangkan di Indonesia
diperkirakan jumlah usia lanjt berkisar, 18,5 juta orang dengan angka insidensi
dan prevalensi penyakit alzheimer belum diketahui dengan pasti.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali
dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita
lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak ada perbedaan
terhadap jenis kelamin.
III. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab
yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi
virus, polusi udara/industri, trauma, neurotransmiter, defisit formasi sel-sel
filament, presdiposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri
dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang
mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya ingat secara
progresif.
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat
berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut
mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan calsium
intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau
terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik.
Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan)
juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor
genetika.
IV. Patogenesa
Sejumlah patogenesa penyakit alzheimer yaitu:
1. Faktor genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini
diturunkan melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis
pertama pada keluarga penderita alzheimer mempunyai resiko menderita
demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok kontrol normal
Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan familial
early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio proximal
log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan lokus
pada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down syndrome
mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun 2002 digitized by USU digital library 3
terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan penurunan
Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan
histopatologi pada penderita alzheimer.
Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar
menunjukkan 40-50% adalah monozygote dan 50% adalah dizygote.
Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik berperan dalam penyaki
alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa penderitanya
ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa
kemungkinan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada
alzheimer.
2. Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga
penderita alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata
diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan
infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat lambat, kronik dan remisi.
Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru,
diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer.
Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:
a. manifestasi klinik yang sama
b. Tidak adanya respon imun yang spesifik
c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
d. Timbulnya gejala mioklonus
e. Adanya gambaran spongioform
3. Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat
berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antar
alain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan
neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan
neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut
diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum
adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang
tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidak
seimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang
belum jelas.
Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan
depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan
masuk ke intraseluler (Cairan-influks) danmenyebabkan kerusakan
metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian
neuron.
4. Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita
alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin
dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan
haptoglobuli.
Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan
meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid
Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan
pada wanita muda karena peranan faktor immunitas
5. Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit
alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju
yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan
banyak neurofibrillary tangles. 2002 digitized by USU digital library 4
6. Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita alzheimer
mempunyai peranan yang sangat penting seperti:
a. Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik
neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak
pada penderita alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil
transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan
biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan postsynaptik
kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis
superior, nukleus basalis, hipokampus.
Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu
ada dibandingkan jenis neurottansmiter lainnyapd penyakit alzheimer,
dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan
cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamin
pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya
daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai
patogenesa penyakit alzheimer
b. Noradrenalin
Kadar metabolisma norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun
pada jaringan otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian
dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama
noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan defisit kortikal
noradrenergik.
Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak
penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada
presinaptik neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988),
melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan
ante-mortem penderita alzheimer.
c. Dopamin
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas
neurottansmiter regio hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan
perubahan aktivitas dopamin pada penderita alzheimer. Hasil ini masih
kontroversial, kemungkinan disebabkan karena potongan histopatologi
regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.
d. Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5
hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer.
Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis dari meynert.
Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi,
pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada
posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal.
Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya
neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis
e. MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine.
Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk
deaminasi serotonin, norepineprin dan sebagian kecil dopamin,
sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin. Pada penderita
alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus dan
frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal
danmenurun pada nukleus basalis dari meynert. 2002 digitized by USU digital library 5
V. GEJALA KLNIK
Awitan dari perubahan mental penderita alzheimer sangat perlahanlahan, sehingga pasien dan keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan
penyakit ini mulai muncul. Terdapat beberapa stadium perkembangan penyakit
alzheimer yaitu:
o Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)
o Memory : new learning defective, remote recall mildly impaired
o Visuospatial skills : topographic disorientation, poor complex contructions
o Language : poor woordlist generation, anomia
o Personality : indifference,occasional irritability
o Psychiatry feature : sadness, or delution in some
o Motor system : normal
o EEG : normal
o CT/MRI : normal
o PET/SPECT : bilateral posterior hypometabolism/hyperfusion
o Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)
o Memory : recent and remote recall more severely impaired
o Visuospatial skills : spatial disorientation, poor contructions
o Language : fluent aphasia
o Calculation : acalculation
o Personality : indifference, irritability
o Psychiatry feature : delution in some
o Motor system : restlessness, pacing
o EEG : slow background rhythm
o CT/MRI : normal or ventricular and sulcal enlargeent
o PET/SPECT : bilateral parietal and frontal
hypometabolism/hyperfusion
o Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)
o Intelectual function : severely deteriorated
o Motor system : limb rigidity and flexion poeture
o Sphincter control : urinary and fecal
o EEG : diffusely slow
o CT/MRI : ventricular and sulcal enlargeent
o PET/SPECT : bilateral parietal and frontal
hypometabolism/hyperfusion
VI. KRITERIA DIAGNOSA
Terdapat beberapa kriteria untukdiagnosa klinis penyakit alzheimer yaitu:
1. Kriteria diagnosis tersangka penyakit alzheimer terdiri dari:
o Demensia ditegakkan dengan pemeriksaan klinik dan pemeriksaan status
mini mental atau beberapa pemeriksaan serupa, serta dikonfirmasikan
dengan test neuropsikologik
o Didapatkan gangguan defisit fungsi kognisi >2
o Tidak ada gangguan tingkat kesadaran
o Awitan antara umur 40-90 tahun, atau sering >65 tahun
o Tidak ada kelainan sistematik atau penyakit otak lainnya 2002 digitized by USU digital library 6
2. Diagnosis tersangka penyakit alzheimer ditunjang oleh:
o Perburukan progresif fungsi kognisi spesifik seperti berbahasa,
ketrampilan motorik, dan persepsi
o ADL terganggu dan perubahan pola tingkah laku
o Adanya riwayat keluarga, khususnya kalau dikonfirmasikan dengan
neuropatologi
o Pada gambaran EEG memberikan gambaran normal atau perubahan non
spesifik seperti peningkatan aktivitas gelombang lambat
o Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan atropu serebri
3. Gambaran lain tersangka diagnosa penyakit alzheimer setelah
dikeluarkan penyebab demensia lainnya terdiri dari:
o Gejala yang berhubungan dengan depresi, insomnia, inkontinentia, delusi,
halusinasi, emosi, kelainan seksual, berat badan menurun
o Kelainan neurologi lain pada beberapa pasien, khususnya penyakit pada
stadium lanjut dan termasuk tanda-tanda motorik seperti peningkatan
tonus otot, mioklonus atau gangguan berjalan
o Terdapat bangkitan pada stadium lanjut
4. Gambaran diagnosa tersangka penyakit alzheimer yang tidak jelas
terdiri dari:
o Awitan mendadak
o Diketemukan gejala neurologik fokal seperti hemiparese, hipestesia,
defisit lapang pandang dan gangguan koordinasi
o Terdapat bangkitan atau gangguan berjalan pada saat awitan
5. Diagnosa klinik kemungkinan penyakit alzheimer adalah:
o Sindroma demensia, tidak ada gejala neurologik lain, gejala psikiatri atau
kelainan sistemik yang menyebabkan demensia
o Adanya kelainan sistemik sekunder atau kelainan otak yang menyebabkan
demensia, defisit kognisi berat secara gradual progresif yang diidentifikasi
tidak ada penyebab lainnya
6. Kriteria diagnosa pasti penyakit alzheimer adalah gabungan dri
kriteria klinik tersangka penyakit alzheimer dab didapatkan
gambaran histopatologi dari biopsi atau otopsi.
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi
neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering
kali berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).
Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus
temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks
motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937)
Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari:
a. Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen
abnormal yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini 2002 digitized by USU digital library 7
juga terdapat pada neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba,
lokus seruleus, dorsal raphe dari inti batang otak. NFT selain didapatkan
pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak manula, down
syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal, supranuklear palsy.
Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.
b. Senile plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending
yang berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit,
mikroglia. Amloid prekusor protein yang terdapat pada SP sangat
berhubungan dengan kromosom 21. Senile plaque ini terutama terdapat
pada neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit
didapatkan pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik, korteks
visual, dan auditorik. Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer.
Perry (1987) mengatakan densitas Senile plaque berhubungan dengan
penurunan kolinergik.
Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plaque) merupakan
gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer.
c. Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada
penyakit alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks
terutama didapatkan pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis.
Juga ditemukan pada hipokampus, amigdala, nukleus batang otak
termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia nigra.
Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari
meynert, dan sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel
serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis.
Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang
berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan
harapan dalam pengobatan penyakit alzheimer.
d. Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat
menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna
dengan jumlah NFT dan SP , perubahan ini sering didapatkan pada
korteks temporomedial, amygdala dan insula. Tidak pernah ditemukan
pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus, serebelum dan
batang otak.
e. Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada
enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil
pada korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal
ini sama dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang
otak pada gambaran histopatologi penyakit parkinson.
Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit
alzheimer.
2. Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan
neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi
kognitif umum danmengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test
psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh
beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori,
kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa. Evaluasi
neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi diagnostik yang penting
karena: 2002 digitized by USU digital library 8
a. Adanya defisit kognisi yang berhubungan dgndemensia awal yang dapat
diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang
normal.
b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk
membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan defisit
selektif yang diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolik,
dangangguan psikiatri
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh
demensia karena berbagai penyebab.
The Consortium to establish a Registry for Alzheimer Disease
(CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis dengan
mempergunakan alat batrey yang bermanifestasi gangguan fungsi kognitif,
dimana pemeriksaannya terdiri dari:
1. Verbal fluency animal category
2. Modified boston naming test
3. mini mental state
4. Word list memory
5. Constructional praxis
6. Word list recall
7. Word list recognition
Test ini memakn waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada kontrol
3. CT Scan dan MRI
Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat
kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita alzheimer
antemortem. Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan
adanya penyebab demensia lainnya selain alzheimer seperti multiinfark dan
tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh danpembesaran ventrikel keduanya
merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit
ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada demensia lainnya seperti
multiinfark, parkinson, binswanger sehingga kita sukar untuk membedakan
dengan penyakit alzheimer.
Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi
dengan beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status mini mental. Pada
MRI ditemukan peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan
periventrikuler (Capping anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini
merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan di
kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti
adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan
fissura sylvii.
Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari
penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran
(atropi) dari hipokampus.
4. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang
pada penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus
frontalis yang non spesifik
5. PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah,
metabolisma O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat
menurun pada regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan 2002 digitized by USU digital library 9
fungsi kognisi danselalu dan sesuai dengan hasil observasi penelitian
neuropatologi
6. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Aktivitas I. 123 terendah pada refio parieral penderita alzheimer. Kelainan ini
berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua
pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.
7. Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer.
Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit
demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE,
fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody
yang dilakukan secara selektif.
VIII. PENATALAKSANAAN
Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena
penyebab dan patofisiologis masih belun jelas. Pengobatan simptomatik dan
suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dankeluarga.
Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang
menguntungkan.
1. Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk
pengobatan simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer
didapatkan penurunan kadar asetilkolin.
Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA
(tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki
memori danapraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti
menatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk
penampilan intelektual pada orang normal dan penderita alzheimer.
2. Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer didapatkan
penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate
(75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada
nukleus basalis. Pemberian thiamin hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hari
selama 3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsi
kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama.
3. Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki
fungsi kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian
4000 mg pada penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang
bermakna. 2002 digitized by USU digital library 10
4. Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan
kerusakan noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang
merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2
mg peroral selama 4 minggu, didapatkan hasil yang kurang memuaskan
untuk memperbaiki fungsi kognitif
5. Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi,
halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4
minggu akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita alzheimer
menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline
25-100 mg/hari)
6. Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam miktokomdria
dengan bantuan enzym ALC transferase. Penelitian ini menunjukkan bahwa
ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase.
Pada pemberian dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan,
disimpulkan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas
kerusakan fungsi kognitif.
IX. PROGNOSA
Dari pemeriksaan klinis 42 penderita probable alzheimer menunjukkan
bahwa nilai prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Derajat beratnya penyakit
2. Variabilitas gambaran klinis
3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis
kelamin
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang
paling mempengaruhi prognostik penderita alzheimer. Pasien dengan penyakit
alzheimer mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah
diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi sekunder.
X. KESIMPULAN
Penyakit alzheimer sangat sukar di diagnosa hanya berasarkan gejalagejala klinik tanpa dikonfirmasikan pemeriksaan lainnya seperti neuropatologi,
neuropsikologis, MRI, SPECT, PET. Sampai saat ini penyebab yang pasti belum
diketahui, tetapi faktor genetik sangat menentukan (riwayat keluarga),
sedangkan faktor lingkungan hanya sebagai pencetus ekspresi genetik.
Pengobatan pada saat ini belum mendapatkan hasil yang memuaskan, hanya
dilakukan secara empiris, simptomatik dan suportif untuk menyenagkan
penderita atau keluarganya. 2002 digitized by USU digital library 11
DAFTAR PUSTAKA
Blass J et al. Thiamin and alzheimer disease. Arch. Neurol. 1988(45): 833-835
BR Reed. Alzheimer disease: age antibodi onset and SPECT pattern of reginal
cerebral blood flow, Archieves of Neurology, 1990(47):628-633
Cummings, MD Jeffrey L. Dementia a clinical approach.2
nd
ed. Butter worth: 43-93
DL Spark. Aging and alzheimer disease: alteredd cortical serotogenic binding. Arch.
Neurology, 1989(46): 138-145.
E.Mohr. Clonidine treatment of alzheimer disease. Archive of Neurology, 1989(46):
376-378
Fratiglioni L. Clinical diagnosis of alzheimer disease and other dementia in
population survey. Arc.Neurol. 1992(49):927-932
J.C. Morries. The consortium to establish a registry for alzheimer disease (CERALD)
part I: clinical and neuropsycologycal assessment of ADALAH.
Neurology, 1989 (39):1159-1105
Kathleen A. Neuropsycological assessment of alzheimer disease. Neurology 1997
(49): S11-S13
Katzman RMD. Principle of geriatric neurology. Philadelphia : FA Davis, 1992:207-
243
McKhan Guy et al. Clinical diagnosis of alzheimer disease. Report of the NINCDSADRDA Work group neurology, Neurology 1984(34):939-943
Michael Gold. Plasma and red blood a cell thiamin defisiency in patiens with
dementia of type alzheimer disease. Arc Neurol. 1995(52):1081-
1086
Morh Gautier. Guide to clinical neurology 1
st
ed. New York: Churchill, 1995:765-771
Susanne S. Neuropatologic assessment of alzheimer disease. Neurology,
1977(49)S14-S16
Thomson and McDonald. Alzheimer disease, in diseaseof nervous system clinical
neurobiology. Vol.II. Philadelphia : WB Sounders, 1992:795-801
William J. Their use in diagnosis dementia. Gerlatrica 1991, 49(2): 28-35
Langganan:
Postingan (Atom)